ASPEK-ASPEK HUKUM dan NON HUKUM PERDAGANGAN
INERNASIONAL dalam SISTEM GATT dan WTO : IMPLIKASINYA BAGI NEGARA-NEGARA
BERKEMBANG
Oleh : PROF. DR HATA, SH, MH
Abstrak
Dampak ketidakseimbangan kekuatan antar
bangsa-bangsa adalah perdagangan internasional telah menjadi hak politik sejak
Piagam Havana dinegosiasikan. Pada perjanjian GATT tahun 1947 banyak negara
telah berusaha membereskan perbedaan diantara mereka melalui berbagai negosiasi
dan menyelesaikan konflik kepentingan melalui mekanisme penyelesaian sengketa.
Pendirian WTO dianggap oleh banyak pihak
sebagai puncak dari tahapan proses hukum mengenai perdagangan internasional,
yang ditandai dengan keberhasilan atas prosedur penyelesaian sengketa dan
diharapkan dapat menciptkan stabilitas serta dapat meramalkan sistem
perdagangan dunia. Namun demikian apa yang terjadi dengan putaran Doha ? Dalam
pandangan negara berkembang, semakin menunjukan kepada kita betapa perlunya
reformasi secara mendasar baik menyangkut substansi maupun prosedur sistem
perdagangan dunia versi WTO agar tercipta kerjasama perdagangan yang saling
mengntungkan semua pihak yang terkait.
Pendahuluan
Selepas perang dunia II salah satu
perhatian utama para pemimpin bangsa didunia adalah bagaimana menata hubungan
perdagangan internasional agar supaya terhindar dari praktik-praktik
konfrontatif, penetapan hambatan-hambatan perdagangan semena-mena dalam upaya
melempar kerugian kepada bangsa lain, bahkan peran dagang yang terjadi di
masa-masa sebelum perang dunia. Perang secara militer telah berakhir, tetapi
bagaimana dibidang perdagangan internasional ?.
Upaya PBB, dalam hal ini ECOSOC, untuk
mendirikan sebuah oranisasi internasional bernama international trade
organitation (ITO) yang akan menangani persoalan perdagangan dan pembanunan
ternyata mengalami kegagalan dan hasil maksimal yang dicapai adalah
disepakatinya untuk sementara waktu sebagian dari naskah piagam ITO yang
mengatur perdagangan internasional bernama general agreement on tariffs and
trade (GATT). Sejauh mana peranan GATT dan WTO yang menggantikannya dalam
menata perdagangan internasional dan implikasinya bagi Negara-negara berkembang
khususnya.
Pembahasan
GATT
dab tarik menarik kepentingan antara Negara maju dan Negara berkembang
GATT disepakati tahun 1947 sebagai akibat
gagalnya Negara-negara yang menyepakati pembentukan ITO. Selalu diwarnai dengan
tarik menarik kepentingan antara Negara maju dan berkembang. Negara-negara
berkembang mengajukan usul pengalihan sumber-sunber daya (resources). Di
bidang-bidang yang ada kaitannya dengan perdagangan internasional, ingin
mengendalikan penanaman modal asing, menghendaki Negara maju menerima suatu
disiplin mirip kartel. Agar Negara berkembang dapat mempertahankan harga
kondite ekspor yang menguntungkan. Negara-neara berkembang berkeininan memiliki
wadah atau lembaga internasional sendiri. Sejak konferensi Asia-Afrika di
Bandung tahun 1955 bermaksud menggalan konsolidasi Negara-negara peserta, dan
membina kerjasama ekonomi, politik dan kebudayaan. Hasilnya membuahkan
konferensi PBB untuk perdagangan dan pembangunan (united nations conference on
trade and development / UNCTAD) pada tahun 1964 di Jenewa. Negara-negara
berkembang akhirnya berhasil mendapatkan status permanen bagi UNCTAD. Tanggal
30 Desember 1964 jadilah UNCTAD menjadi anggota tetap PBB. Tahun 1872 UNCTAD
mengambil keputusan tentang perlunya pembuatan charter of economic rights and
duties of states. Usulan ini diajukan ke presiden Mexico, Luis Echeveria
Alvarez, yang mengatakan bahwa : “A just and stable world will not be possible until
we create obligations and rights which protect weaker states let us take the
economic cooperation out of the realm of goodwill and put it into the realm of
law.
Erosi
disiplin GATT dan dampaknya terhadap Negara berkembang
Tahun 1948 GATT mengalami turun naik dan
pasang surut kepatuhan peseranya terhadap norma-norma yang terkandung
didalamnya. Menurut Hudec pada tahun-tahun pertama penyelesaian sengketa oleh
pihak ketiga yang disebut produser panel yang telah memperkokoh komitmen Negara
di bidang perdagangan internasional. Tahun 1950-an memanfaatkan produser panel
ini dalam menyelesaikan sengketa lewat pengadilan GATT, dan dianggap cukup
efektif. Tahun 1960-an membawa perubahan dramatis, dimana upaya penyelesaian
sengketa secara hukum semakin jarang dilakukan. Perubahan sikap kebijakan
perdagangan dapat mengancam system perdagangan yang relative liberal yang telah
diciptakan GATT sejak tahun 1948. Peraturan GATT yang oleh pemerintah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan zaman, sehingga kerapkali dilanggar, baik oleh
Negara-negara maju maupun Negara berkembang. Amerika Serikat dan masyarakat
Eropa mempertahankan restraint programme dengan semua pemasok baja mereka lewat
perdagangan ekspor, setelah diadakannya perjanjian bilateral. Jepang merupakan
sasaran dari banyak penekangan, terutama karena reputasi Jepang sendiri dalam
hal proteksionisme. Brazil, Hongkong, Republik Korea meniru keberhasilan Jepang
semakin merasakan kekangan terhadap perdagangan ekspornya. Praktik-praktik yang
dijalankannya bersifat diskriminatif. Aturan-aturan GATT mengenai subsidi tidak
begitu eksplisit/diterima seluruhnya. Negara-negara berkembang merupakan
penerima dari prefernsi tariff umum yang diberikan secara sepihak oleh
Negara-negara maju. Manfaat diskriminasi positif lebih kecil dibandinkan dengan
dampak merugikan dari diskriminasi yan diterapkan oleh neara-neara maju, atas
ekspor tekstil, pakaian jadi, dan produk-produk manufaktur lain, merupakan
produsen dengan harga rendah. Aturan GATT tidak mampu lagi merujukan kepentingan
diantara Negara-negara pesertanya. Akhirnya kembali kemeja perundingan untuk
mengevaluasi kelemahan norma GATT, membuat aturan-aturan hukum yang
mengikat.
Putaran
Uruguay 1984-1993
Puaran Uruguay merupakan putaran
perundingan GATT yang terakhir yang melahirkan world trade organitation.
Putaran Uruuay secara resmi diluncurkan pada pertemuan tingkat menteri pada
bulan September 1986 di Puntadel Este, Uruguay. Putaran perundinan ini terbesar
yan pernah diadakan di Negara-negara peserta GATT. Tangal 15 Desember 1993
Trade Negotiaion Committee of The Uruguay Round menerima final act yang
berisikan hasil-hasil putaran Uruguay. Dengan diterima Finl Act, berakhirlah
perundingan –perundingan GATT yang sudah berlangsung selama 7 tahun. Selama
putaran Uruguay Negara-negara berkembang termasuk Indonesia, aktif
memperjuangkan kepentingan dan berhasil memasukan kepentingan utama mereka
dalam perundingan, antara lain : Tropical product (kopi, the, coklat, dsb).
Negara-negara berkemban menaruh harapan besar pada hasil-hasil yang dicapainya.
Pernyataan Indonesia dalam menyambut hasil
persetujuan dagang, sbb :
- Menyadari bebas atas keajiban-kewajiban baru yan berlaku, menerima paket putaran Uruguay karena berkeyakinan, pertumbuhan ekonomi dunia berkembang dan system perdagangan internasional yang dil.
- Perjanjian tentng hk milik intelektual.
- Menerima kewajiban dari paket global, pada Negara-negara berkembang.
- Peluan akses pasar yan lebih besar bai negar mitr dagang yng merupakan tujuan utama putaran Uruguay.
- Dalam ranka putaran Uruguay disepakati agar produk tekstil secara bertahap sejalan dengan disiplin multilateral.
- Sistem perdagangan dunia yan terbuka dan dinamis membutuhkan kesediaan dari semua pihak unuk menerima peralihan dlam keuntungan komparatif untuk melaksanakn penyesuain structural apabila diperlukan.
- Negara-negara berkembang menyadari keharusan melakukan penyesuaian struktural.
- Menggunakan dalil kepedulian social dan linkungan untuk membatasi perdagangan.
- Menjadikan kewajiban semua pihak untuk tidak memperlemah WTO yang masih akan dibentuk dengan cara membebaninya dengan isu-isu controversial.
WTO
keberhasilan dan kegagalan
Dengan kelahiran WTO dapat menempatkan
Negara-negara lemah pada posisi sejajar dengan Negara maju. Disiplin
multilateral yng mengikat dibidang perdagangan internasional. Putaran Uruguay
merupakan titik awal berubahnya pengharapan Negara-negara berkembang atas
system perdaganan multilateral dan partisipasi. Banyak keberhasilan yan dicapi
diberbagai bidang, terutama dalam kemampuan WTO, menyelesaikan perselisihan
dagang ntar anggota atas dasar hukum yang mengikat. Tahun 1996 diadakan
konferensi tingkat menteri WTO pertama di Singapur. Keberhasilan AS dan
Negara-negara maju, munculah penanaman modal (investment), kebijakan persaingan
(competition policy), kontrak-kontrak pemerintah (government procurement), dan
fasilitas perdagangan (trade facilitation).
Permasalahan isu Singapura dapat
digambarkan sebagai berikut :
- Menghendaki dibuatnya peraturn dibidang penanamn modal asing, termsuk aturan untuk mencegah Negara uan rumah membuat persyaratan berlebihan bagi pihak yang ingin berinvestasi.
- Menghendaki aturan-aturan WTO dibidang persaingan usaha.
- Cara-cara pemerintah membuat kontrak dianggap tidak transparan sehingga menjurus pada keputusan yang tidak adil dan korupsi.
Negara-negara
berkembang menentang usulan ini
Mereka berpendapat Singapura akan merampas
kewenangan mereka untuk mengatur perusahaan-perusahaan asing, mengeruk
keuntungan lebih besar dan lebih gampang dinegaranya. Negara sangat menentang
kebijakan pemberian subsidi yang dilakukan Uni eropa dan AS kepada para petani
mereka. Kebijakan Negara-negara maju mengakibatkan harga produk pertanin mereka
yang seharusnya lebih mahal dari pada produk petani Negara berkembang dapat
dijual lebih murah dipasar dunia berkat subsidi yang sangat besar dari
pemerintah. Negara-negara kaya mensubsidi pertaniannya tidak kurang dari 300
miliar Euro setiap tahunnya, dan mengenakan tariff tinggi bagi impor produk
pertanian Negara-negara berkembang.
Kegagalan perundingan merupakan kerugian
bai Negara-negara miskin yang seharusnya diuntunkan dari turunnya harga dan
terbukanya perdagangan.
Penutup
Dengan segala
kekurangannya yang dimiliki WTO, WTO pun masih dibutuhkan oleh semua negara.
Data menunjukan apa yang sudah dicapai maupun yang belum dicapai. Sedemikian
jauh tampaknya aspek positif masih leih banyak daripada aspek negatifnya.
Rule-base system harus diperhatikan karena terbukti memberikan keamanan dan
prediktabilitas bagi perdagangan internasional. Ini dibuktikan antara lain oleh
kenyataan bahwa negara anggota yang lemah sekalipun dapat mengadukan negara
kuat jika kepentingan dagangnya terganggu sehingga sangat mengurangi pengaruh
tekanan bilateral dari negara kuat. Setiap pemerintah negara harus berusaha
keras meningkatkan kemakmuran bangsanya lewat perdagangan internasional namun
setiap kebijakan yang dibuat harus tetap mempertimbangkan kepentingan negara
lain. Sebelum menjadi Dirjen WTO, Pascal Lamy pernah mengingatkan : free trade is not natural. Tampaknya
kini dia sedang bekerja keras meminta bantuan dari semua pihak, untuk merawat
dan menyelamatkan WTO yang sedang sakit agar supaya jantungnya terus berdenyut dan bahkan bisa
pulih kembali.
Nama kelompok :
1. Daniel Anugrah Wibowo
2. Deden Muhammad
3. Nur rahman
4. Peter burju
5. Rachman hidayah
6. Sulung panji
0 komentar:
Posting Komentar